Thursday, November 10, 2011

Jasa Para Pejuang Hanya “Sekadar” Dikenang dan Dihargai

Oleh: Udi Sukrama

Sejak dari SD hingga SMA, mungkin juga saat kuliah, kita selalu diingatkan dan disadarkan tentang pentingnya mengenang dan menghargai jasa-jasa para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah berkorban harta, bahkan jiwa dan raga. Para pejuang dengan ikhlas berkorban demi kemerdekaan bangsa dari cengkraman para penjajah di bumi Indonesia. Meraih kemerdekaan adalah tujuan utama mereka, demi kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.

Setelah kemerdekaan dapat diraih dan kehidupan bangsa Indonesia pun mulai membaik hingga saat ini, tetapi apakah kehidupan para pejuang dan janda-janda pejuang yang masih hidup dapat menikmati hasil perjuangannya dengan baik pula? Jawabannya belum. Mengapa demikian? Karena hingga saat ini mereka hanya sebatas dikenang dan dihargai, namun kehidupan keseharian mereka amat memperihatinkan. Berbagai gelar dan penghargaan, seperti gelar veteran pejuang hingga penghargaan tanda jasa lainnya, tentunya bukanlah keinginan dan harapan mereka karena mereka berjuang dengan ikhlas dengan keringat dan tetes darah serta nyawa. Akan tetapi, layakkah sebagai pejuang bangsa hanya sekadar dihargai oleh penerus bangsa, sementara mereka dibiarkan dalam kesulitan ekonomi, kemiskinan menjalani kehidupannya?

Setelah bertahun-tahun berjuang memerdekakan negeri ini, sekarang mantan para pejuang dan janda-janda para pejuang kembali berjuang untuk memerdekaan dirinya dari kesulitan hidup. Pantaskah keadaan ini diterima oleh orang-orang yang telah memerdekakan negeri ini? Layaknya, kehidupan mereka saat ini ditanggung oleh negara karena merekalah yang memperjuangkan berdirinya negara ini.

Terkadang, sangat miris rasanya jika kita bandingkan dengan kehidupan para pejabat negeri ini, yang hidup lebih dari kata cukup serta memperoleh pasilitas dari negara. Padahal, para pejabat tersebut tidak akan dalam kehidupan yang layak jika kemerdekaan tidak diperjuangkan oleh para pejuang bangsa ini. Semestinya, para pejuang dan janda-janda pejuang pun disejahterakan oleh negara, bukan hanya pemberian “sekadar”. Sekadar dihargai dengan beberapa ratus ribu rupiah, tetapi tidak disejahterakan atau ditanggung kehidupannya dengan layak.

Menyibak kisah belum sejahteranya kehidupan para pejuang kemerdekaan ini, mungkin tidak akan selesai jika pemerintah tidak peduli dan tidak berkeinginan menyejaterakannya. Selain itu, tugas menyejahterakan para pejuang ini pun bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga para donatur yang berasal dari para pengusaha yang hidup berkecukupan.

Selamat Hari Pahlawan, 10 November 2011, Semoga ada titik terang...

Friday, October 14, 2011

Tangan Kiri Tidak Boleh Mengetahui

Oleh: Udi Sukrama/Udi Sukma

Siang itu…

“Teettt….Teettt….Teett!” suara bel pulang sekolah berbunyi.

“Horeee.......”, teriak siswa kelas lima saat mendengar bel tanda pembelajaran di sekolah usai. Mereka pun segera merapikan alat-alat belajar. Selanjutnya, berdoa dan mengucapkan salam kepada Pak Guru. Setelah itu, mereka bergegas melangkah keluar kelas.

“Adul…Adul…, Adul tunggu aku sebentar!” ucap seseorang yang memanggil Adul dari arah belakang.

Adul menoleh ke belakang. Terlihat Ayu, Alfian, dan Arai berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa kawan-kawan?” tanya Adul keheranan.

“Kita cari tahu tentang Hardi, yuk! Soalnya, dia sudah tidak masuk sekolah dua hari. Bagaimana?” ucap Ayu.

“Kapan?” tanya Adul sambil mengusap keringatnya.

“Nanti…Lebaran haji saja kita carinya!” ucap Arai berkelakar.”Ya, sekaranglah…”

“Kamu tahu kan, di mana rumahnya Hardi, Dul?” tanya Ayu.

“Aku tahu…, tetapi bagaimana kalau ke rumahnya sekitar pukul 3 saja?” ucap Adul.

“Apa tidak terlalu siang, Dul?” tanya Arai.

“Masalahnya, aku diminta ayahku membersihkan halaman rumah, kawan,” jelas Adul.

“Biar cepat selesai kami bantu deh! Mau, tidak?” tawar Arai.

“Yang benar nih?” tanya Adul.

“Benar kawan, setelah pulang ke rumah masing-masing, kami ke rumahmu,” ucap Ayu. “Bagaimana siap membantu Adul, kawan-kawan?”

“Siap!!!” serentak teman yang lainnya.

Sekitar pukul satu siang, Ayu, Hardi Arai dan Alfian sudah sampai di rumah Adul. Mereka mengucapkan salam kepada ibunya Adul. Saat itu, ibunya Adul sedang mengangkat pakaian yang sudah kering dijemur. Kemudian, ibunya memanggil Adul. Ternyata, Adul keluar dari samping rumahnya. Ia membawa alat-alat untuk membersihkan halaman rumah dari rumput liar.

“Bagaimana, sudah siap teman-teman?”

“Siap apanya?” tanya Arai.

“Ya bantu akulah. Ingat, apa kata Pak Ustad Sanusi! Janji adalah utang. Nah, kalian telah berjanji ingin membantu. Ayo, bantu aku!” ucap Adul.

“Iya…iya, cerewet amat sih kamu!” kata Ayu.

“Baiklah, biar cepat selesai nih. Aku ke sebelah kiri,” ucap Arai.

“Aku juga ke sana!” ucap Alfian.

“Aku ke sebelah kanan,” ucap Adul.

“Kalau begitu aku ke sebelah kanan bersamamu, Dul!” ucap hardi.

“Nah, kalau aku ke sebelah mana?” tanya Ayu.

“Kamu ke bantu Arai dan Alfian saja, Ayu!” pinta Adul.

“Baiklah, Dul,” ucap Ayu.

Tidak seberapa lama, pekerjaan membersihkan halaman pun selesai. Pekerjaan selesai dalam waktu tiga puluh menit. Kemudian, mereka istirahat sambil menikmati makanan dan minuman yang dibawakan oleh ibunya Adul. Setelah istirahat, mereka pun segera berangkat ke rumah Hardi. Namun, sebelumnya Adul dan kawan-kawannya pamit kepada ibunya Adul.

“Rumahnya di dekat mana, Dul?” tanya Alfian.

“Rumahnya di daerah Telaga Mas III,” jawab Adul singkat.

“Itu khan daerahnya dekat pabrik,” kata Arai.

“Tepatnya, daerah kawasan industri, kawan,” tegas Ayu.

“Iya, benar, makanya kita harus hati-hati jika melewati jalan dekat pabrik,” ucap Adul.

“Mengapa, Dul?” ucap Arai.

“Banyak kendaraan industri berlalu lalang, seperti mobil truk dan mobil container, dan mobil pengangkut barang lainnya,’ ucap Adul.

“Ada jalan lain tidak, Dul?” tanya Ayu.

“Ada sih, cuma itu juga hanya setengah perjalanan melewati kawasan industri tersebut. Nah, jalan itu yang biasa dilewati oleh Hardi jika ke sekolah,” ucap Adul.

“Ya, sudah kita lewat sana saja,” ucap Ayu.

Setelah mereka melewati jalan lain yang disebut Adul, mereka juga melewati kawasan industri. Saat melewati kawasan itu, benar saja mereka melihat mobil pengangkut yang lalu lalang. Selain itu, mereka juga melihat saluran air. Airnya berwarna kebiru-biruan. Saluran itu, mengeluarkan bau yang tidak sedap.

“Uhuk…uhuk..uhuk!” Ayu terbatuk- batuk. Ughh! Bau sekali!” pekik Arai.

“Iya, Rai, makanya tutup hidungmu dengan tissue ini!” ucap Ayu sambil memberikan tissue.

“Airnya juga terlihat kebiru-biruan, kawan,” ucap Adul.

“Benar Dul, sepertinya saluran air ini tellah tercemar limbah industri,” ucap Alfian.

“Sepertinya begitu, Alfian,” ucap Adul.

“Aliran saluran air ini tersambung ke daerah kita, kan, teman-teman?” tanya Ayu.

“Benar, Yu,” ucap Adul.

“Wah, pantas di daerah kita sudah tidak ada ikan-ikan kecil yang hidup. Ini harus kita laporkan ke pengurus RT setempat,” ucap Arai dengan semangat.

“He he he he….Ayahmu juga ketua RT kan, sobat Arai yang tampan?” ucap Adul berkelakar.

“Iya, sih….” ucap Aria sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Lantas, apa langkah kita untuk hal ini?” tanya Alfian.

“Sebaiknya, benar kata Arai. Namun, kita selesaikan dahulu tujuan kita yang satu ini,” ucap Ayu.

“Aku setuju,” ucap Adul demikian juga yang lainnya.

Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah hardi. Mereka pun mengucapkan salam. Kemudian, dari dalam keluarlah seorang ibu yang membalas salam mereka.

“Maaf, Bu, Hardinya ada? E…ee..Kami sahabatnya Hardi, Bu,” ucap Ayu.

“Oh, kalian sahabatnya. Mari masuk, Nak!” ucap Ibunya Hardi.

“Hardi di mana, Bu?” tanya Adul.

Hardi sedang di rumah sakit, Nak,” ucap ibunya Hardi.

“Hardi mengapa, Bu?” tanya Adul.

“Hardi sakit apa, Bu?” tanya Arai.

“Hardi tidak apa-apa. Ia sedang menunggu ayahnya di rumah sakit,” ucap ibunya.

“Ayahnya sakit apa, Bu?” tanya Alfian.

“Ayahnya Hardi terserempet mobil saat melewati kawasan industri, Nak,” ucap ibunya Hardi.

“Oooo, begitu. Lalu, kapan Hardi akan sekolah, Bu?” tanya Adul.

“Itulah, Nak. Hardi terpaksa tidak sekolah saat Ayahnya dirawat di rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit, ia juga harus membantu ibu berjualan nasi di daerah kawasan tersebut. Saat ini yang menjaga warung nasi adalah kakaknya Hardi dan ibu. Kami selalu bergantian menunggu ayahnya Hardi di rumah sakit,” ucap ibunya Hardi.

“Jadi, Hardi tidak akan sekolah sebelum ayahnya sembuh, ya, Bu?” tanya Ayu.

“Sebenarnya, Hardi bisa saja ke sekolah, Nak. Tetapi, kami harus menutup warungnya sementara. Jika demikian, kami tidak mungkin bisa membayar biaya rumah sakit, Nak,” ucap ibunya Hardi.

“Memangnya, si penabrak tidak membiayai pengeluran di rumah sakit, Bu?” tanya Adul.

“Setelah menyerempet, mobil itu kabur, Nak,” ucap ibunya Hardi.

Setelah mengetahui hal itu, Adul dan teman-temannya pamit pulang. Di perjalanan pun mereka membicarakan masalah Hardi.

“Dul, kita harus berusaha agar Hardi bisa masuk sekolah,” ucap Ayu.

“Kamu kan sudah dengan apa kata ibunya tadi,”ucap Adul.

“Oh, iya, bagaimana jika kita laporka saja kepada pak guru kodisi Hardi ini? Selanjutnya, kita juga harus mencari orang dermawan untuk membantu pembiayaan rumah sakit. Bagaimana, kawan?” ucap Alfian.

“Aku setuju usulmu itu,” ucap Adul dan kawan-kawan yang lain.

***

Keesokan harinya, Adul dan kawan-kawannya melaporkan tentang keadaan Hardi kepada Pak guru. Pak guru pun sebenarnya sudah mendengar itu dari laporan adminitrasi sekolah. Saat itu, ibunya Hardi yang menelepon. Namun demikian, Pak guru belum mengetahui kondisi yang lebih jelas.

“Terima kasih, anak-anak, kalian telah memberikan informasi ini,” ucap pak Guru.

“Sama-sama, Pak,” ucap Adul dan kawan-kawannya.

Kemudian, Adul dan teman-temannya menuju tempat duduknya masing-masing.

“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Najib Sukur, ayah Hardi mengalami kecelakaan. Ia terserempet mobil beberapa hari yang lalu. Beliau terluka parah dan sekarang masih berada di rumah sakit. Hari ini Bapak dan beberapa teman kita ingin menjenguk ke sana. Namun sebelumnya, mari kita doakan agar ayahnya Hardi lekas sembuh.”

Saat itu, semua anak kelas lima pun mendoakan kesembuhan untuk ayahnya Hardi. Setelah itu, pembelajar pun dimulai.

Saat pulang sekolah, Pak guru mengajak beberapa anak kelas lima. Anak yang ikut ke rumah sakit adalah Adul, Alfian, Arai, dan Yani. Sebelumnya, Ayu pun diajak Pak Guru, namun ia menolak. Hal ini karena Ayu akan ikut ayahnya ke suatu tempat. Akhirnya, Pak guru dan yang lainnya berangkat menuju rumah sakit.

Ayu segera pulang menuju ke rumahnya. Di rumah, ayahnya sudah menunggu. Terlihat ayahnya sedang membaca Koran harian. Kemudian, ayahnya melihat kedatangan Ayu.

“Bagaimana, kita jadi ke rumah sakit, Ayu?” ucap Pak Made, ayah Ayu.

“Jadi ayah. Pak guru dan teman lainnya sudah pergi ke sana,” ucap Ayu.

“Oooo, kalau begitu, kamu makan salin dan makan siang. Setelah itu, baru kita berangkat,” ucap Pak Made.

Setelah makan siang, Ayu dan ayahnya segera menuju ke rumah sakit. Sesampainya di sana, Ayu dan ayahnya ke ruangan administrasi rumah sakit menyelesaikan sesuatu. Selanjutnya, mereka menuju ke ruang rawat inap kelas 3, di mana ayahnya Hardi dirawat. Di depan ruangan itu, ternyata Pak guru dan temannya Ayu sudah ada di sana.

“Selamat siang,” sapa Pak Made, ayahnya Ayu.

“Selamat siang, Pak guru,” ucap Ayu

“Selamat siang, Pak,” ucap Pak guru. “Oh, kamu, Ayu.”

“Iya, Pak, tadi Ayu bersama ayah pergi ke suatu tempat di dekat sini. Kemudian, kami mampir ke sini, Pak,” ucap Ayu.

“Silakan, Pak dan Ayu, ke dalam. Di sana, masih ada Adul dan Arai menemani Hardi,” ucap Pak guru.

“Terima kasih, Pak,” ucap Pak Made dan Ayu.

Setelah itu, Pak Made dan Ayu masuk ke dalam ruang rawat inap kelas 3. Di sana, terlihat Adul, Alfian, dan Arai. Sementara itu, Hardi sedang menyuapi ayahnya makan.

“Selamat siang,” sapa Pak Made kepada orang yang ada di ruangan itu.

“Selamat siang,” jawab orang yang ada di ruang.

“Maaf Hardi dan Pak Najib, baru bisa datang sekarang,” ucap Ayu sambil memeberikan sekantong plastik buah apel dan jeruk.

“Tidak mengapa Ayu. Tetapi, mengapa harus repot seperti ini, Ayu dan Pak Made,” ucap Hardi.

“Ah, tidak mengapa. Oh ya, bagaimana kondisi ayahmu, Nak?” ucap Pak Made.

“Alhamdulillah sudah membaik, Pak,” ucap Hardi.

Saat berbincang-bincang di ruangan, tiba-tiba ibunya Hardi masuk ke ruangan rawat.

“Hardi… Kita harus bersyukur kepada Allah, ternyata biaya ayahmu sudah lunas hingga pulang ke rumah, Nak!” ucap ibunya Hardi tanpa menghiraukan orang yang ada di ruangan itu.

“Memangnya ibu sudah punya uang untuk melunasinya?” tanya Hardi.

“Tidak Hardi, tetapi menurut petugas ada orang yang melunasinya. Selain itu, meminta agar ayahmu dipindah ke ruangan kelas 2,” ucap ibunya.

“Siapa orang itu, Bu?” tanya Hardi.

“Siapapun dia, ibu hanya berdoa semoga orang itu diberi kesehatan dan diberikan rezeki yang berlimpah…” ucap ibunya Hardi.

Serentak orang yang ada di ruangan itu mengucap, Amiiinn…”

“Oh, iya, Ibu, ini ayahnya Ayu,” ucap Hardi.

Ibunya Hardi pun berkenalan dan meminta maaf kepada Pak Made karena hal tadi.Tidak lama kemudian, muncullah petugas administrasi dan perawat rumah sakit. Mereka akan memindahkan Pak Najib Syukur ke ruangan kelas 2. Seketika, petugas administrasi melihat Ayu dan Pak Made.

“Maaf, Pak, baru sekarang pasiennya akan dipindahkan,” ucap petugas administrasi rumah sakit. Kemudian, petugas itu melihat ibunya Hardi.

”Maaf Ibu, tadi Ibu bertanya kepada kami siapa yang telah membayar biaya rumah sakit Pak Najib, kan?” ucap petugas Adminitrasi.

“Benar sekali, Pak,” ucap ibunya Hardi.

“Orang yang telah membayarnya adalah Bapak dan anak ini,” ucap petugas administrasi.

Sejenak Hardi melihat kuitansi pembayaran yang diletakkan di lemari kecil pasien. Di kuitansi itu tertulis nama “I Made Irawan”.

“Terima kasih banyak, Pak Made,” kata Hardi sambil menangis terisak-isak.

Kemudian, ibunya Hardi pun memanjat berkat,”Terima kasih, Pak. Bagaimana saya bisa membalas kebaikan Bapak ini. Semoga Bapak diberikan rezeki yang lebih…” ucap Ibunya Hardi sambir bercucuran air mata.

Pak Najib pun angkat bicara sambil terbata-bata menahan sakitnya,”Terima kasih, Pak.”

“Hal ini memang sudah kewajiban kami untuk membantu sesama, Bu. Saya juga diingatkan oleh Ayu agar membantu temannya, Bu. Ayu juga berharap agar Hardi bisa cepat sekolah,” ucap Pak Made.

“Terima kasih atas segala bantuan keluargamu, Ayu,” ucap Hardi.

“Sama-sama, tetapi kamu besok sekolah, khan?” tanya Ayu.

Hardi kemudian menoleh ke wajah ibunya. Ibunya pun menganggukkan kepalanya. Kemudian, Hardi pun berkata,”Iya, Ayu.”

“Alhamdulillah…” ucap Adul dan kawan-kawannya.

Sementara itu, Pak guru pun berkata,“Saya selaku wali kelas murid, turut mengucapkan terima kasih atas kedermawanan Pak Made. Sehingga anak didik saya bisa masuk sekolah lagi.”

“Sam-sama, Pak,” ucap Pak Made.

“Pantas kamu tidak mau ikut kami, Rupanya, kamu sudah merencanakan ini. Lalu, mengapa kamu tidak memberitahu kami tentang rencanamu itu?” ucap Adul.

“Kamu ingat tidak apa yang pernah Pak Guru ajarkan?” tanya Ayu.

“Tentang apa?” tanya Adul.

“Jika tangan kanan kita memberi. maka tangan kira tidak boleh mengetahuinya,” ucap Ayu.

Semua yang hadir di ruangan itu pun menganggukan kepalanya, termasuk Pak Made, ayahnya Ayu. Pak Made merasa bangga kepada Ayu karena telah memahami hal itu. Demikian juga, Pak guru serta Adul dan kawan-kawannya.

Lagi iseng, Bandung, 11 Januari 2011

Thursday, October 13, 2011

Gayaku Memotivasi Anak agar Mau Membaca

Suatu sore,aku mencoba menemani anakku yang bernama Icha yang sedang membaca buku sejarah pahlawan Indonesia. Akan tetapi, saat itu terlihat malas membaca. Seperti biasa jika ia bertingkah laku seperti itu aku mencoba memotivasinnya dengan berbagai janji. Namun saat itu Icha justru menagihku untuk bercerita tentang fabel ataupun kisah kepahlawanan. Namun, sungguh saat itu aku sudah tidak punya andalan cerita karena stock perbendaharaan ceritaku sudah habis kuceritakan kepadanya. Entah mengapa secara tiba-tiba aku ingin menceritakan kisah yang dahulu kuingat semasa sekolah di SMA dahulu. AKhirnya kuceritakanlah tentang kisah kenanganku saat pelajaran sejarah. Harapanku, dengan cerita ini anakku mau termotivasi membaca buku tersebut.

Begini cerita yang kusampaikan kepada anakku:
Saat itu, ada seorang siswa yang bernama Udi Sukrama. Ia siswa yang duduk di kelas 3 sos 1. Ia termasuk anak yang rajin tidak, malaspun tidak; nakal tidak, pendiam pun tidak; sangat pintar pun tidak, bodoh pun tidak. Suatu hari, saat pelajaran sejarah aku asik mengobrol dengan seorang teman yang bernama Wahyudin (teman sebangku). Saat itu, guru sejarahku yang bernama bapak Yahya Aman Surya sedang menjelaskan tentang sejarah dunia. Saat itu, dibentangkan pula peta dunia di papan Board. Entah mungkin sedikit kesal melihatku kasak kusuk ngobrol,...tiba-tiba ia berkata "Coba Wedana Udi maju kedepan dan tunjukkan negara mana ini?" berkata bapak berkumis tebal itu kepadaku sambil menunjukkan sebuah negara kecil yang ada di benua Amerika. Aku sontak terhenyak plus sedikit bingung. Namun aku tak kehabisan akal ,kuperhatikan terlihatlah samar-samar kata "Bolivia", spontan kujawab nama itu.
Tiba2, anakku memberhentikan ceritaku."Stop, Yah!!! Emangnya guru ayah itu kumisnya tebal,setebal apa yah?" tanya Icha.
Aku menjawab:"Seperti ini nih," sambil memeragakan spidol maker hitam yang kupasang di atas bibirku.
Icha pun tertawa, kemudian aku melanjutkan ceritaku semasa sekolah dulu.
Icha pun kubiarkan memberikan kesimpulan gambaran ayahnya masa itu bahwa ayahnya sedikit malas dan bandel maka mendapat kejutan dari guru berkumis tebal itu. Akhirnya, Icha mau membaca buku sejarahnya kembali karena tidak mau bernasib sama seperti ayahnya memdapat kejutan tak terduga dari seorang guru, meskipun gurunya tidak berkumis tebal.

Setelah kuceritakan kisahku ini, aku mulai menyadari bahwa waktu terasa cepat. Serasa baru kemarin aku lulus SMA. Tak terasa waktu telah berlalu belasan tahun lamanya meninggalkan SMA 18. Kemudian, aku menyembunyikan pandanganku di hadapan wajah anakku agar tidak melihat mataku yang berkaca-kaca.

Thursday, September 22, 2011

Kisah Ayah dan Burung Merpati

Oleh: Udi Sukrama
Pada hari Sabtu, Adul diajak oleh orang tuanya berkunjung ke rumah kakek. Rumah kakek Adul di kota Serang Banten. Kakek Adul kini tinggal sendiri. Hal ini karena nenek Adul telah meninggal dua bulan yang lalu.
Baru setengah hari saja di sana, Adul sudah merasa bosan. Ia bosan karena tidak ada teman untuk bermain. Selain itu, televisi di rumah kakek juga rusak. Kakek merasa kasihan melihat Adul. Kakek mengajak Adul berkunjung ke rumah Paman Andi. Rumah Paman Andi tidak jauh dari rumah kakek. Saat berkunjung ke rumah Paman Andi, Adul melihat Arman, sepupunya sedang bermain burung merpati. Akhirnya, Adul dan sepupunya bermain burung merpati di halaman rumah pamannya itu. Ternyata, bermain burung merpati sangat mengasyikan. Sehingga Adul berkeinginan untuk memiliki burung merpati.
Setelah pulang dari rumah Paman Andi, Adul pun segera menghampiri ayahnya untuk membicarakan keinginannya itu.

Yuk, Belajar Menulis Cerita Anak!

Oleh: Udi Sukrama


Saat membuka coretan ini, saya yakin, Anda mencari kiat khusus yang jitu untuk menulis cerita anak. Jika itu yang Anda cari, mungkin Anda dapat memperolehnya dari berbagai buku dan artikel lainnya. Sebelumnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya bukanlah seorang penulis, saya hanyalah orang yang suka membaca cerita anak-anak, baik di buku maupun cerpen pada surat kabar cetak dan noncetak. Akan tetapi, saya juga sering bertanya kepada teman-teman dan beberapa penulis cerita anak sehingga paling tidak saya mengetahui beberapa hal penting dalam penulisan cerita anak.

Wednesday, September 21, 2011

Persamaan Plagiator, Koruptor, dan Aligator

Oleh: Udi Sukrama
Suatu hari saya membuka email di yahoo, ternyata ada kiriman pesan dari seorang teman. Dalam pesannya, ia mengajak saya untuk mengajukan beberapa judul cerita anak. Saya langsung mengirim bebrapa judul cerita dan saya informasikan juga kepadanya bahwa saya telah membuat naskahnya dari sebagian judul cerita yang diajukan. Akhirnya, ia pun meminta beberapa bab dari judul yang telah ada naskahnya dilengkapi dengan sinopsis ceritanya. Setelah beberapa bulan lamanya, belum juga ada kabar tentang judul dan contoh naskah yang dikirim via email tersebut. Saat itu, saya masih berpikir positif sambil menunggu berharap-harap cemas.

Tuesday, May 31, 2011

Anda Butuh Naskah Cerita Anak dan Naskah Lainnya?









9 Mei yang lalu, saya membuat sebuah cerita hingga larut malam. Akan tetapi, rasa ngantuk tidak bisa dikalahkan meskipun telah meminum kopi 3 gelas. Alhasil, saya tertidur dengan posisi duduk hingga terdengar azan Subuh berkumandang. Permasalahan yang timbul bukan terletak tertidur pada posisi duduknya, tetapi laptop yang dijadikan tempat mencurahkan pengalaman yang nyangkut dalam pikiran saya, tiba-tiba tidak mau hidup. "Duasar apes!!". Sudah ditanyakan sama temen yang ngerti komputer, ternyata berbagai jawaban yang saya terima. Ada yang bilang powernya lemah, baterainya rusak, dan ada juga yang bilang listriknya kurang kuat (Itu sih nge-hina banget! Mentang-mentang, suka telah bayar listrik). Nah, Sabtu pagi tanggal 14-nya, tuh laptop Hp langsung dibawa ke tukang benerin di Harco Magga Dua, Jakarta. Setelah seharian dianalisis, ternyata Mainboard-nya kena atau apanyalah tidak begitu jelas dan harganya sekitar sejuta lebih. Waduh! Mendingan ngumpulin uang dan beli yang baru daripada menservis lagi. Akhirnya, ya dengan terpaksa data dalam hardisknya diambil, terutama naskah cerita saya. Untuk itu, daripada naskahnya juga ikut hilang dan rusak, mending saya jual sajalah. Judul naskah buku cerita anak-anak itu ada 7 naskah, antara lain Sahabat Sejati, Yang Jujur- Yang Dipercaya, Persembahan Sakura untuk Ayah, Mewujudkan Impian, Pelangi di Bumi Indonesia, dan Menghargai Keragaman di Indonesia.




Nah, bagi saudara-saudara yang mau beli naskah cerita anak-anak yang berhubungan dengan akhlak mulia dan PKn, silakan hubungi saya, Udi Sukma di 081573192635 atau 022-91869545 (esia)

Tuesday, March 22, 2011

Obrolan di Warung Kopi tentang HAM

Oleh: Udi Sukrama
Sehabis salat Isya, seperti biasanya saya nongkrong di warung kopi yang tidak jauh dari masjid. Di sana, saya melihat sekitar 12 orang pengunjung (Alhamdulillah….), termasuk pengunjung lama, yakni Pak Usep, Pak Sunandar, dan Pak Budi atau sering disebut ustad Budi (lantara gaya bicaranya seperti ustad). Seperti biasanya, saya langsung bergabung dengan mereka. Saat itu kami membahas berbagai hal di dalam kehidupan, mulai dari harga cabai yang tidak turun-turun, Ahmadiyah, ributnya para wakil rakyat & pemerintah (politik), tsunami, bom buku, gatelnya Nato menyerang Libya, radiasi nuklir di Jepang, hingga menemukan topic yang menarik tentang masalah HAM. Kemudian, salah satu dari kami, yakni Pak Budi menyimpulkan bahwa inilah tanda-tanda akhir zaman.
“Kalau memang disebut tanda-tanda akhir zaman, berarti manusia musti sadar akan hal itu,” kata Pak Usep.

Tuesday, March 15, 2011

Oh.....Nasib Jadi Buruh Pabrik

Oleh: Udi Sukrama




Kalau dahulu, orang-orang malas menjadi pegawai negeri sipil (sekitar tahun 1970-an sampai tahun 1990 'kalau tidak salah'), mereka malah memilih menjadi pedagang, sopir angkot ataupun buruh pabrik ataupun karyawan di bank. Pasalnya, dahulu menjadi pegawai negeri sipil untuk mencukupi kebutuhan hidup saja agak tersendat (contohnya guru pada saat itu). Akan tetapi, kini banyak orang lebih memilih menjadi pegawai negeri sipil karena keterjaminan kebutuhan hidupnya sudah mulai membaik.

Friday, March 11, 2011

Kata Siapa Menulis Itu Sulit?

Oleh: Udi Sukrama
Kemarin, saya berbincang-bincang dengan seorang kawan yang memiliki ide cukup banyak dan pandai beretorika. Lalu, saya katakan kepadanya agar ide dan kemampuan ngocehnya itu dituangkan kedalam sebuah tulisan. Kontan saja ia merasa keberatan karena menurutnya orang menulis itu sulit dan untuk melakukannya diperlukan bakat khusus. Menurutnya lagi bahwa orang yang berani menulis itu bukan orang sembarangan. Saya hanya mengatakan bahwa saya juga suka meuliskan “unek-unek” saya di media Blog. Lalu,kawan saya pun nyengir. Kemudian, ia menceritakan kendalanya bahwa ia pun sebenarnya ia pun ingin menulis tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Sebenarnya menulis itu adalah hal yang mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Nah, yang dibutuhkan seseorang menulis adalah kemauan menulis. Jika tidak ada k kemauan untuk menulis, tentunya kita tidak mengetahui sejauhmana sudut pandang kita dalam memandang sesuatu.

Pengemis yang Dermawan

Oleh: Udi Sukrama

Sore itu, saya memasuki lokasi terminal Leuwi Panjang dengan tergesa-gesa. Sesampainya di muka terminal, banyak para penjaja oleh-oleh khas Bandung menawarkan jajaannya kepada saya, namun tidak saya hiraukan. Bahkan, saya tidak sengaja memperlihatkan wajah masam kepada mereka sambil menggeleng-gelengkan kepada bertanda "tidak". Saya langsung saja menuju sebuah tempat yang bertuliskan "TOILET atau WC UMUM". Nah, itulah alasan saya mengapa berjalan tergesa-gesa dan tidak menyadari telah bermuka masam kepada para penjaja, tidak lain merasakan perut mulas. Setelah memasuki sebuah ruangan yang sempit dan berbau pesing, saya jongkok sambil melepaskan amunisi yang tertahan sejak masih naik mobil angkutan kota. Akhirnya, plong juga rasanya setelah melepaskan amuni yang tertahan. Tiba-tiba, saya mendengar percakapan yang sepertinya dilakukan oleh dua orang di balik tembok toliet. Kebetulan WC yang saya masuki adalah WC yang terletak di pojok dan bersebelahan dengan tembok luar, jadi bisa terdengar orang-orang berbicara di balik tembok.

Thursday, March 10, 2011

Hikmah dari suatu Kejadian

Oleh: Udi Sukrama

The Power of Silaturahmi

Oleh: Udi Sukrama

Semalam, ketika jenuh untuk menyelesaikan rutinitas pekerjaan yang tak kunjung rampung, saya mencoba mencari-cari buku kenangan (mungkin orang-orang menyebutnya buku diary, tapi saya lebih suka menyebutnya buku kenangan). Buku kenangan itu, berisikan catatan kecil saya mulai menjadi siswa SMP hingga SMA, yang tersimpan di sudut pojok bawah lemari buku. Terkadang saya tertawa geli jika membaca catatan-catatan kecil itu, ternyata didominasi oleh tulisan tentang kisah asmara dan kisah heroik pribadi lainnya.

I Love Kebersamaan, meski Perut Membuncit

Oleh: Udi Sukrama

“I love kebersamaan, meski sampai perut buncit,“ ini sebuah guyonan di antara saya dengan seorang teman saat menjelang lulus dari SMP Negeri 21 di tahun 1990. Kami berdua kemudian berpisah karena berbeda SMA dan kota. Setelah kami bertemu di daerah Glodok, seketika kami saling mengenali dan tertawa dan berkata: “ I love kebersamaan, meski sampai perut buncit”. Saat itu, kami saling berbincang-bincang, termasuk membandingkan besar dan diameter perut. Padahal awalnya kami pun tidak ingin menbicarakan masalah perut buncit yang membuat setiap orang merasa tidak pede, tetapi realitanya kami mengalami dan berbagi tips agar tetap Pede ataupun kembali mengempis.

Semoga Tuhan Memberikan Kekuatan Kepada Kita

Oleh: Udi Sukrama

Saat merasa penat dengan berbagai masalah yang selalu berputar di kepala (terutama masalah ekonomi), saya mencoba menghibur diri dengan mendengarkan musik. di ruangan. Tiba-tiba, terdengar ketukan beberapa kali dari luar pintu kamar sehingga mengusik keasyikan saya. Ternyata, ibu yang selalu mencucikan pakaian saya. Ia datang dengan maksud meminjam uang untuk mengobati anaknya ke dokter. Saya merasa iba dan memberikan sejumlah uang kepadanya, namun tetap saja di dalam hati saya sedikit menggerutu karena persediaan uang mulai menipis.

Silaturahmi Tidak Mengenal Pepatah: “Karena Nila setitik, Rusak Susu Sebelanga”


oleh: Udi Sukrama

Kita sering mendengar pepatah yang menyatakan “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, artinya hanya karena kesalahan kecil yang nampak tiada artinya, tetapi dapat menjadi persoalan besar dan membuat kacau atau berantakan.

Thursday, March 3, 2011

Percakapan Dua Bocah di Pantai

Oleh: Udi Sukrama
Sore itu, suasana Pantai Kuta-Bali sangat menyenangkan dan ombaknya pun tidak terlalu besar. Banyak para wisatawan yang menikmati suasana itu. Ada yang hanya duduk-duduk menunggu matahari tenggelam, ada yang bermain air, snorkling, dan bermain pasir. Nah, khusus bermain pasir ini sangat disukai oleh para bocah berumur 2-6 tahun. Di tengah para bocah yang sedang bermain pasir ini terlihat dua orang anak yang asyik bermain pasir sambil berbincang-bincang. Ternyata, kedua bocah ini merupakan satu rombongan wisatawan dari Australia. Bahkan rumah mereka saling berdekatan, jadi wajar jika mereka begitu akrab. Mereka bernama Jesica dan Jhony. Mereka terlihat berbincang-bincang sangat serius.
"Jhon, kira-kira di laut ada buayanya ga ya?" tanya Jesica kepada Jhon.
"Kata ibuku sih buaya itu tidak ada di laut, tapi di muara, dan sungai," kata Jhon sambil membuat bangunan rumah dari pasir.
"Ooo..Begitu. Tapi kamu tidak tahu khan kalau di darat juga ada buaya?" kata Jesica kepada Jhon.
"Tahu dari mana kamu kalau di darat itu ada buaya, Jes?" Jhon merasa bingung.
"Aku sendiri pernah mendengar suatu malam, saat ibuku baru pulang kerja ia berteriak dengan keras menyebutkan nama 'Buaya Darat' di hadapan ayahku," kata Jesica.
"Oh, iya. Saat itu juga aku melihat ibumu tergesa-gesa keluar dari jendela kamar ayah dan ibuku," tambah Jesica.
"Oooo...Begitu pasti ibuku juga tahu. Ibuku khan seorang dr. ahli hewan.Yuk, kita tanyakan kepada Ibuku, Jes!" ajak Jhoni kepada Jesica.
Kedua bocah ini kemudian berjalan menuju tempat di mana kedua orang tua mereka bersantai di pinggir pantai. Kemudian, Jhon pun bertanya kepada ibunya.
"Apa benar di darat ada buaya?" kata Jhon kepada ibunya.
Ibunya Jhon pun tersenyum, lalu ia berkata," Kata siapa Jhon di darat ada buaya?"
"Kata Jesica Bu. Katanya, ia mendengar saat itu, Ibunya Jesica berteriak menyebutkan buaya darat di depan ayahnya. Katanya juga saat itu Ibu pasti mendengar karena ibu baru keluar lewat jendela," kata Jhon.
Seketika ibunya Jhon, terdiam dan wajahnya terlihat pucat.
"Ada-tidak buaya di darat, Bu?" tanya Jhon kepada ibunya degan penuh penasaran.
Ibunya pun tidak menjawabnya. Akan tetapi, ternyata ibunya Jesica yang menjawabnya dengan lantang, " Ada, Jhon."
Kemudian, Jesica pun menoleh ke arah Jhon," Tuh khan apa aku bilang, ada khan."
Jhon pun menganguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Kemudian, ia pun melontarkan pertanyaan kepada ibunya Jesica.
"Kira-kira, banyak mana antara buaya rawa, buaya sungai atau buaya darat, Tante?" tanya Jhon kepada ibunya Jesica.
"Banyak Buaya Darat, Jhon," kata Ibunya Jesica sambil menatap tajam kepada ayah Jesica dan ibunya Jhon.
"Oooo begitu....Hiiiyyyy ngeri sekali," kata kedua bocah itu. Kemudian, meraka kembali menuju bermain pasir dengan asyiknya. Mereka pun tidak peduli ada telah terjadi keributan setelah meninggalkan tempat di mana mereka bertanya tadi.

Bandung, saat ngantuk di siang hari.

Wednesday, March 2, 2011

Jangan Pernah Putus Asa Mencintai Republik

"Jangan pernah putus asa mencintai republik…" Paling tidak kalimat ungkapan dari Ibu Sri Mulyani itulah yang masih terngiang-ngiang di telinga saya untuk terus menuangkan apa yang saya mampu. Memang, sebenarnya saya rasakan kehidupan kini sangatlah berat. Pasalnya, di tengah menjulang tingginya kebutuhan pokok manusia Indonesia, masyarakat dipusingkan pula oleh berbagai masalah politik dalam negeri, yang tentunya berimbas kepada kehidupan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat sering terjadinya perseteruan antara partai politik di kursi Dewan Terhormat, yang ide awalnya mendaulat atau didaulat sebagai perwakilan rakyat. Anehnya, mereka yang menjadi perwakilan itu saling sibuk memikirkan kelanggengan dirinya dan partainya, bukan memikirkan tentang kehidupan masyarakat. Mereka saling ribut tentang pemberantasan korupsi, mafia pajak, PSSI, dan koalisi, lalu kapan memikirkan rakyatnya yang sedang kelaparan?
Akhir-akhir ini saya mulai pesimis akan keberadaan para pengurus bangsa yang konon sebagai pengayom, pelindung, dan mewakili rakyatnya saat terjadi permasalahan di tengah masyarakat yang hampir kurang gizi. Akhir-akhir ini juga saya mulai pesimis akan kelangsungan kehidupan saya di bumi Indonesia ini. Terkadang saya suka tertawa sendiri jika ada siaran ataupun acara di televisi yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan kekayaan alamnya, dalam kenyataannya masyarakat banyak yang miskin dan tidak dapat menikmati kekayaan negara ini. Atau mungkin saja perkataan negara Indonesia adalah sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam?! Tetapi, makna sebenarnya adalah Negara Indonesia itu kaya akan warganya yang miskin, kaya korupsi, kolusi, dan maraknya penjahat berdasi yang dapat memutar balik kebenaran....."Achhh," Lagi-lagi, saya teringat ucapan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik ini".

Friday, February 25, 2011

Meskipun Mati, namun Harus Berarti

"Meski mati, namun harus berarti." Kalimat itulah yang menjadi obat disaat saya merasa lelah dan jenuh menghadapi permasalahan kehidupan. Mengapa demikian? Hal ini karena saya berpandangan bahwa manusia harus memiliki arti dalam kehidupan, sekecil apapun. Misalnya saja, dalam lingkup leluarga inti, seorang ayah paling tidak memiliki arti di mata isteri dan anak-anaknya.

Sunday, February 20, 2011

WEDANA UDI

Suatu sore, aku mencoba menemani anakku yang bernama Icha yang sedang membaca buku sejarah pahlawan Indonesia. Akan tetapi, saat itu terlihat malas membaca. Seperti biasa jika ia bertingkah laku seperti itu aku mencoba memotivasinnya dengan berbagai janji. Namun saat itu Icha justru menagihku untuk bercerita tentang fabel ataupun kisah kepahlawanan. Namun, sungguh saat itu aku sudah tidak punya andalan cerita karena stock perbendaharaan ceritaku sudah habis kuceritakan kepadanya. Entah mengapa secara tiba-tiba aku ingin menceritakan kisah yang dahulu kuingat semasa sekolah di SMA dahulu. Akhirnya kuceritakanlah tentang kisah kenanganku saat pelajaran sejarah. Harapanku, dengan cerita ini anakku mau termotivasi membaca buku tersebut.