Thursday, September 22, 2011

Kisah Ayah dan Burung Merpati

Oleh: Udi Sukrama
Pada hari Sabtu, Adul diajak oleh orang tuanya berkunjung ke rumah kakek. Rumah kakek Adul di kota Serang Banten. Kakek Adul kini tinggal sendiri. Hal ini karena nenek Adul telah meninggal dua bulan yang lalu.
Baru setengah hari saja di sana, Adul sudah merasa bosan. Ia bosan karena tidak ada teman untuk bermain. Selain itu, televisi di rumah kakek juga rusak. Kakek merasa kasihan melihat Adul. Kakek mengajak Adul berkunjung ke rumah Paman Andi. Rumah Paman Andi tidak jauh dari rumah kakek. Saat berkunjung ke rumah Paman Andi, Adul melihat Arman, sepupunya sedang bermain burung merpati. Akhirnya, Adul dan sepupunya bermain burung merpati di halaman rumah pamannya itu. Ternyata, bermain burung merpati sangat mengasyikan. Sehingga Adul berkeinginan untuk memiliki burung merpati.
Setelah pulang dari rumah Paman Andi, Adul pun segera menghampiri ayahnya untuk membicarakan keinginannya itu.
“Yah, Adul ingin memiliki burung merpati. Boleh tidak, yah?”
“Aduh…., Adul kamu tahu tidak burung merpati tuh sangat jorok sekali. Dia sering membuang kotoran di sembarang tempat,” ucap Ayahnya. “Jadi, Ayah sarankan jangan memelihara burung merpati.”
Mendengar saran Ayahnya itu Adul hanya terdiam. Ia tidak ingin membuat ayahnya marah. Ibunya pun terdiam, tidak seperti biasanya selalu menenangkan Adul. Kemudian, kakek memanggil Adul. Kakek mengajak Adul ke belakang rumahnya. Di sana, Adul diberikan sepasang burung merpati putih oleh kakek.
“Adul….ini ada sepasang burung merpati untukmu. Arman memberikannya untukmu,” ucap kakek.
“Terima kasih, Kek, Tetapi kakek, Adul takut ayah marah,” keluh Adul.
“Nanti kakek akan berbicara kepada ayahmu, Dul!” ucap kakek. “Sekarang, kita tinggal mencari kandangnya, Dul.”
“Di mana Adul dapat memperoleh kandangnya, Kek?”
“Coba kamu cari di gudang, tetapi hati-hati, ya!”
“Baik, kek,” ucap Adul.
Saat di dalam gudang, Adul melihat sebuah kotak seperti peti. Peti itu cocok untuk burung merpatinya.
“Nah, pati itu sepertinya pas untuk sepasang burung merpati,” gumam Adul dalam hatinya. Pasti itu terletak diantara tumpukan pekakas lainnya. Kemudian, Adul menarik peti itu.
“Uhuk…uhuk…uhuk!” Adul terbatuk. Ternyata peti itu sudah sangat berdebu. Adul kemudian membersihkan peti itu.
Kemudian, adul membawa peti itu kepada kakeknya. “Adul kira ini cukup untuk kandang sepasang merpati itu, Kek!”
“Iya, Dul, sangat cukup,” kata kakek sambil mengukur peti itu.
Sambil merancang lubang rumah burung merpati bersama kakeknya, Adul bertanya kepada kakeknya, “Kek, Ayah tidak suka memelihara burung, ya?”
Seketika kakek pun terdiam dan menghempaskan napasnya secara perlahan. “Nanti, kakek akan tunjukkan sesuatu kepadamu Adul. Sekarang, kita selesaikan dahulu kandang burung ini,” ucap kakeknya.
“Lho, kok aneh sekali? Padahal aku hanya bertanya tentang ayah, malah mau menunjukkan sesuatu,” gumam Dudi dalam hatinya.
Dudi mencoba bersabar menunggu jawaban pertanyaan dalam hatinya. Ia menunggu kandang burungnya selesai. Setelah selesai, kemudian Dudi mempertanyakan kembali tentang apa yang akan ditunjukkan kakek kepadanya. Kakek akhirnya masuk ke dalam rumah sambil meminta Dudi menunggu sebentar. Tidak beberapa lama, kakek membawa sebuah buku. Buku itu tebalnya seperti buku agenda.
“Jika kamu ingin tahu tentang pertanyaanmu itu, di dalam buku ini ada jawabannya,” ucap kakek.
Adul menerima sebuah buku dari kakeknya itu. Buku itu tertulis “DIARY”.
“Apa ini diary Ayah, Kek?” tanya Adul dalam kepada kakeknya.
Kakek hanya menganggukkan kepalanya. Untuk menjawab rasa penasarannya itu, Adul kemudian membuka buku tersebut. Di dalam buku tersebut terdapat pula beberapa poto ayahnya saat masih kecil.
“Ayahku lucu juga saat kecil he..he..he…,” gumam Adul sambil tersenyum.
“Ternyata, Ayahku tidak kalah gantengnya dengan aktris sinetron, he e he he he,” ucap Adul sambil tersenyum kembali.
Selain itu, di dalam buku itu juga terdapat tulisan cerpen karya Ayah.
“Ah, aku harus baca cerpen-cerpen ini,” ucap Adul. “Ternyata, dahulu Ayah suka membuat cerpen juga, hebat…hebat..hebat.”
.
Adul kemudian terus membuka helai demi helai halaman dalam buku itu. Di dalamnya, penuh dengan catatan keseharian Ayah, terutama peristiwa menarik dan penting bagi ayah. Setelah beberapa lama Adul membaca sekilas tentang cerita ayah dalam diary itu. Adul menemukan suatu kisah yang berhubungan dengan burung merpati. Judul cerita yang ditulis ayah adalah “Mengenang Deni Si Pencinta Burung Merpati.” Anehnya cerita tersebut tidak sempat diselesaikan oleh ayahnya. Di dalam diary juga tertulis sebenarnya ayah Adul juga menyukai burung merpati: “Menarik sekali cerita ini,” gumam Adul.
Adul kemudian membaca diary itu.
Isi diary ayah Adul….
Juni 1995
“Mengenang Deni si Pencinta Burung Merpati”
Aku dan Deni merupakan sahabat yang memiliki salah satu kesamaan, yakni menyukai burung merpati. Kami sering bermain bersama. Kami sering melepas burung merpati yang sudah jinak. Sehingga burung itu bisa pulang.
Suatu hari, yakni hari Rabu kelabu bagiku. Saat itu, Deni datang ke rumah. Ia mengajakku bermain burung. Namun, aku saat itu sedang makan siang. Akhirnya, Deni pamit pergi terlebih dahulu melepas burung. Dan Aku berkata akan menyusulnya.
Setelah makan, aku menyusul ke tempat biasa kami bermain burung merpati. Setibanya di sana, aku melihat sesosok tubuh digotong oleh orang tua Deni. Oh, ternyata itu Deni…….

“Lho, kok, cerita ini belum usai?” tanya dalam hati Deni.” Mungkinkah ini alasan ayah melarang aku bermain burung merpati? Lebih baik aku menannyakan langsung kepada ayah.”
Adul pun mendatangi ayahnya yang sedang membaca sebuah majalah di ruangan tengah rumah kakeknya.
“Ayah, Adul boleh ganggu, tidak?” tanya Adul kepada ayahnya.”
“Ayah sedang sibuk, tidak?” tanya Adul kembali.
“Ayah tidak sibuk, tuh. Ada apa, Adul?” tanya ayahnya tersenyum.
Melihat Ayahnya tersenyum, Adul menjadi yakin bahwa perasaan hati ayahnya sedang enakan.
Kemudian, Adul memberikan sebuah diary. Namun, sepertinya ayahnya sduah terlupa dengan diary itu.
“Diary siapa ini, Dul?” punya kamu?” ucap ayahnya.
Adul tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Ia hanya membuka isi diary yang menceritakan tentang teman sejati ayahnya, yakni Deni.
“Dari mana kamu mendapatkan ini, Adul?” tanya ayahnya yang terlihat terkejut.
“Maaf ayah! Adul mendapatkannya dari Kakek,” Adul kemudian berkata kembali.” Apakah ini yang membuat Ayah melarang Adul bermain burung merpati?” tanya Adul sambil menunjukkan catatan itu.
“Iya Adul, Ayah takut kejadian itu menimpa dirimu,” ucap ayahnya.
“Kejadian apa Ayah? Terus, di mana sekarang sahabat Ayah itu?”
“Untuk menjawab pertanyaanmu itu, baiklah Ayah ceritakan kisah tentang sahabat ayah itu,” ucap ayahnya sambil bibirnya bergetar.
Ayahnya Adul menghela nafasnya sejenak. Kemudian ia bercerita. Ia menceritakan bahwa Deni adalah sahabatnya yang paling dekat. Akan tetapi, Deni telah tiada tertabrak mobil saat ingin mengambil burungnya yang turun ke tengah jalan. Saat itu, Deni tidak melihat ada mobil truk yang akan melintas. Akhirnya, Deni tertabrak mobil itu. Saat itu, ayahnya Deni membawanya ke rumah sakit. Akan tetapi, nyawanya tidak tertolong. Deni mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit.
“Nah, itulah Adul, mengapa ayah melarang kamu bermain burung merpati,” ucap ayahnya.
“Oh, berarti bukan karena kotorannya saja, ya Yah?” tanya Adul.
Ayahnya Adul hanya tersenyum.
“Ayah…maukah Ayah meneruskan cerita tentang teman sejati Ayah?”
“Baiklah, Adul. Ayah akan melanjutkan ceritanya. Sekalian, setelah ini Ayah akan berziarah ke makamnya.”
“Oh, makamnya di dekat sini, Yah?”
“Iya, Adul. Ayah juga terima kasih kepada Adul karena buku diary ini, ayah jadi ingat berziarah di pusaranya.”
“Sama-sama, Ayah,” Adul tersenyum.
Setelah meneruskan cerita di dalam diary itu, Ayahnya Adul kemudian mengajak Adul ke makam temannya, memang cukup jauh perjalanannya menuju makam teman ayahnya itu. Untung ayahnya Adul mengendarai sepeda motor. Jadi, perjalanan bisa lebih cepat. Sampai di suatu tempat, tepatnya di sebuah halaman rumah yang luas, ayah mendorong sepeda motor yang dikendarainya.
“Dul, kita sudah sampai di rumahnya kawan ayah itu,” ucap ayahnya.
Adul hanya memandangi ayahnya yang terlihat sedih. Saat masuk ke dalam halaman pemakaman itu, terlihat ada beberapa orang yang duduk sambil berdoa di sebuah pusaran.
“Oh, apakah ini pusaran teman ayah?” ucap dalam hati Adul.
Adul dan ayahnya kemudian mendekati di antara kerumunan orang itu. Kemudian, Adul dan ayahnya ikut larut dalam doa yang dipimpin oleh seorang ustad. Setelah berdoa, ayahnya Adul menghampiri. Seorang laki-laki. Laki-laki itu umurnya seperti sebaya dengan kakeknya.
“Assalamualaikum, Pak Une,” ucap ayahnya Adul dengan lembut.
“Waalaikum salam,” ucap kakek yang dipanggil Pak Une oleh ayahnya Adul.
“Siapa kamu, Nak?” tanya kakek itu sambil mengasongkan tangan kanannya untuk bersalaman.
Kemudian, Ayahnya Adul pun menyambut salaman tangan Pak Une. “Saya Afandi yang sering dipanggil Ucok oleh Deni, Pak!” ucap ayah Adul.
Orang tua itu berusaha mengingat nama yang diucapkan oleh ayahnya Adul. “Ucok….Ucok….Ucok yang suka bermain burung dengan Deni?” tanya orang tua itu dengan bibir bergetar.
“Iya, Pak…” ucap ayahnya Adul dengan mata yang berkaca-kaca.
Kemudian mereka saling berpelukan. Kemudian, kakek itu pun berkata,” Terima kasih, Cok…ternyata kamu masih ingat Deni…..”
“Walaupun bagaimana, Deni adalah sahabat dekat saya, Pak. Saya pun baru teringat ke sini karena anak saya ini, Pak,” ucap Ayah Adul sambil menarik tangan Adul.
“Anak saya juga ternyata senang bermain burung merpati. Mulai dari itulah saya jadi teringat, Pak,” ucap ayahnya Adul.
Kakek itu kemudian menoleh ke arah Adul. Adul pun menganggukan kepalanya dan maju selangkah. Ia mencium tangan kanan kakek itu. Tidak lama kemudian, orang-orang yang berziarah tadi mendatangi Adul dan ayahnya. Ternyata, orang-orang itu adalah kakak, adik, dan saudara dari almarhum Deni, teman ayahnya Adul. Kami kemudian saling bersalaman dan mengunjungi rumah mereka yang dekat dengan pusara Deni, sahabat ayah.

***

Pada hari Senin, saat di sekolah. Adul menceritakan kisah ayahnya kepada sahabatnya. Mendengar cerita Adul itu, teman-temannya sangat terharu. Mereka terharu akan persahabatan ayah Adul dengan sahabatnya almarhum Deni.
“Aku sungguh salut dengan ayahmu, Dul,” ucap Kristina. “Ayahmu ternyata sahabat sejati, Dul.”
“Benar, Dul. Seperti kisah ini sangat menarik jika dibuat ke dalam sebuah cerpen atau sinetron,” ucap Hardi.
“Ah, dasar. ‘Sinetron mania”, kamu, Hardi!” ucap Arai. “Tapi aku sih punya kesimpulan lain dari cerita itu, Dul?”
“Kesimpulan apa yang kamu tafsirkan, Arai?” tanya Adul.
“Kesimpulannya adalah kebaikan manusia,” ucap Panca.
“Cuma itu saja kesimpulannya?” tanya Ayu.
“Sabar, Non! Maksudku, kebaikan manusia akan selalu dikenang oleh orang dekatnya, termasuk sahabatnya,” jelas Arai.
Serentak lima sahabat itu berkata, “Amiin….”
“Satu lagi, kawan…” ucap Hardi.
“Apa itu?” tanya Ayu.
“Nilai persabatan yang tidak dibatasi oleh waktu. Buktinya, ayahmu Dul. Ia masih mengingat sahabatnya walaupun sudah tiada,” ucap Hardi.
“Benar, Di,” ucap Adul.”Aku sendiri merasakan betapa dekatnya ayahku terhadap sahabatnya itu termasuk keluarganya.”
“Kalau aku sih melihat cerita tadi dapat menjadi contoh bagi yang mendengarnya. Termasuk, kita ini. Kemudian, oleh-olehnya mana, Dul?” ucap Kristina.
Ha….ha…..ha….” tawa lima sahabat itu.
“Ada-ada, teman-teman. Makanya, nanti siang, kalian ke rumahku, ya!” ajak Adul.
“Asyik tuh, Dul! Sekalian aku mau tanya kepada ayahmu,” ucap Hardi.
“Mau tanya apa, Di?” tanya Adul.
“Aku mau tanya silsilah keluarga,” ucap Hardi.
“Silsilah apa?” tanya Adul polos.
“Ya, silsilah keluargalah. Apa benar kalau ayahmu berasal dari daerah Sumatra Utara?”
“Ha….ha….ha…..ha….,” Adul tertawa.
“Lho, kok malah tertawa?” ucap Hardi.
“Ayahku itu berasal dari suku Sunda,” ucap Adul.
“Nah, menurut cerita ayahku yang berasal dari Sumatra Utara itu justru Deni, teman ayahku. Kebetulan, ayahku menyukai lagu “Butet”. Selain itu, ayahku juga suka belajar bahasa Sumatra Utara kepada temannya itu. Dan, yang lucunya, sahabat ayahku itu menyukai tari jaipong. Ia juga belajar bahasa Sunda kepada ayahku,” jelas Adul.
“Hmmmm…..benar-benar menarik, Dul,” ucap Ayu.
“Iya, sangat menarik, Dul,” ucap Panca.” Menarik karena ayahmu itu selain mencintai budaya Sunda, juga mencintai budaya suku lainnya. Dan mereka saling menghargai adat istiadat suku lainnya.
“Itulah yang disebut sahabat sejati. Sahabat sejati selalu menghargai suku, budaya, dan agama, serta yang lainnya,” jelas Adul.
Saat mereka asyik dalam pembicaraan itu, tiba-tiba tanda istirahat telah usai berbunyi. Mereka pun segera masuk kelas. Mereka pun bersepakat untuk datang ke rumahnya Adul setelah pulang nanti. Mereka ingin membicarakan tentang ayahnya Adul. Selain itu, mereka juga ingin melihat sepasang burung merpati milik Adul.




***

No comments: