Wednesday, November 10, 2010

Naskah atau Buku Permainan Anak Tradisional Indonesia

Naskah atau buku "Seri Pesona Kekayaan Indonesia, Permainan anak Tradisional Indonesia" ini lahir dari keprihatinan akan budaya Indonesia yang dewasa ini diindikasikan mulai terlupakan bahkan punah. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa sebagian besar anak Indonesia tidak mengenal permainan tradisional Indonesia. Keberadaannya mulai tergeser dengan permainan masa kini atau modern yang menggunakan teknologi yang tinggi, seperti video game, playstation, dan permainan yang menggunakan teknologi tinggi lainnya. Padahal, disadari atau tidak permainan tradisional Indonesia memiliki banyak keunggulan dibanding dengan permainan modern. Beberapa keunggulannya, yakni dapat menumbuhkan rasa solidaritas, rasa setia kawan, empat terhadap sesama, sportivitas, dan menunjukan keakraban dengan alam sekitar.
Berdasarkan alasan tersebut, kami menganggap bahwa sangat penting mengangkat kembali permainan tradisional dan membudayakannya kembali kepada generasi penerus. Dengan demikian, secara tidak langsung melestarikan budaya tradisional Indonesia.
Naskah atau buku ini disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti serta dilengkapi dengan cara bermain permainan tradisional. Selain itu, buku ini dilengkapi dengan gambar-gambar yang menarik sehingga anak atau pembaca akan tergerak untuk mencoba jenis permainan tradisional yang ada.
Jika Anda tertarik dengan naskah atau buku ini, silakan hubungi kami :
Depot Naskah dan Buku "Sukma Harmoni"
No. telepon 08818262287/ 022-91869545

Thursday, September 30, 2010

Politik Kartel Melanda Perkampungan

Saya juga tidak ingat sudah berapa kepengurusan Pak Lurah di kampungku menjanjikan kepada masyarakat bahwa jalan Cihideung akan diperbaiki. Namun, saya selalu menggerutu jika membawa sepeda motor melewati jalan tersebut seperti hendak ke daerah pesawahan. Padahal, jalan tersebut merupakan jalan yng selalu dilalui oleh mobil-mobil pabrik yang berkapasitas muatannya berat. Saat kekesalan saya memuncak, timbul inisiatif saya untuk mengabadikan jalan itu dengan kamera Nikkon L22.

Budaya Indonesia yang Dicontek Situs Jejaring Sosial



Sewaktu kecil, saya pernah tinggal di perkampungan di rumahya nenek. Saat itu, rasa kekeluargaan, empati, saling tolong menolong, dan persudaraan sangat erat. Dahulu, orang di desa saling mengenal satu sama lain. Contohnya, jika ada perkawinan atau ada yang tutup usia, semua warga turut hadir membantu apa yang bisa mereka bantu tanpa pamrih. Bahkan, jika ada warga baru, mereka selalu menyambut dengan ramah dan kekeluargaan. Jika dalam budaya Sunda, hal tersebut dicerminkan dalam pilosofi “Saling Asah, Saling Asuh, Saling Asih.

Wednesday, September 22, 2010

Dina, Sabarlah Menungguku!

Udi Sukrama
Namaku Arman Landu, namun orang-orang sering memanggilku dengan nama agak Keeropa-eropaan “Arland Pernandes”(Pernandes=peranakan desa). Aku pernah membangun keluarga. Pada pernikahanku yang pertama, aku menikahi seorang gadis cantik bernama Ratna. Ratna merupakan gadis yang kukenal di kampus empat tahun yang lalu. Pada tahun 1995, kami sama-sama lulus kuliah, dan tanpa menunda lagi kami langsung memutuskan untuk menikah. Keputusan itu dengan sadar kami ambil karena pada saat kuliah, kami sudah saling mengenal bahkan sama-sama bekerja. Aku bekerja sebagai manajer di salah satu bank swasta di Jakarta, sedangkan Ratna bekerja sebagai staf akunting di sebuah perusahaan jasa pengiriman barang di kota yang sama pula. Jadi, boleh dikatakan kami tidak ada masalah untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari.

Mengenang Kisah Manager “Biting”

Oleh: Udi Sukrama
Semalam, ketika Badri sedang asyik menonton OVJ (Opera van Java), tiba-tiba perutnya berbunyi “kruuukkk….Kruuukkk”, laksana jam bekker mengumandangkan jam makan. Untungnya, jam bekker perut ini seperti gayung bersambut dengan suara penjual sate yang lewat di depan rumah, ”Tee…Satee..Teee…Satee”. Lansung saja Badri menghampiri tukang sate dan memesan seporsi sate+lontongnya.
Tidak lama kermudian tukang sate pun datang sambil membawa seporti sate + lontong dengan bungkusan berupa daun yang disematkan sepotong lidi. Badri pun membayar seporsi sate itu dan berucap, “terima kasih, Mas”.

Belajar Membuat Sinopsis dan Resensi Buku





Oleh: Udi Sukrama

Pada awalnya, saya tidak suka membaca, namun karena salah seorang teman di kos-kosan, yakni Bang Marhum meminta saya untuk membaca dan mengoreksi naskah hasil karyanya untuk ditawarkan ke sebuah penerbit di Jakarta, jadi terpaksalah saya lakukan. Dua minggu kemudian, naskah itu telah ada jawaban, dan ternyata disambut oleh penerbit untuk diproses editing. Selain itu, pihak penerbit meminta agar naskah tersebut dilengkapi dengan sinopsisnya. Aneh memang, biasanya sinopsis dilengkapi setelah buku itu selesai proses penerbitan. “Ah, tidak mengapalah, yang penting naskah ini diterima untuk diproses di penerbitan,” kata temanku itu. Kemudian, ia pun meminta saya untuk membuatkan synopsis naskahnya itu. Saya memahami mengapa ia memberikan pekerjaan itu kepada saya, lantaran ia disibukan dengan membuat tesis S2-nya.

Tuesday, September 21, 2010

Silaturahmi & Ibu Muda dari Negeri Sakura

Oleh: Udi Sukrama
Apa kabar? How do you do?
Kalimat singkat sapaanku kepada seorang teman di acara silaturahmi di sebuah gedung mewah di bilangan kota Jakarta. Temanku itu bernama Meina yang sengaja datang dari negeri Sakura. Menurut kabar, ia telah sukses urban menjadi seorang editor di negeri tersebut. Kemudian, ia langsung menjabat tanganku dengan erat dan berkata seperti apa yang kuucapkan. Selanjutnya, ia mengajakku untuk duduk ke sebuah meja yang jauh dari hiruk pikuk musik dalam acara tersebut.
Meina mecoba menjelajahi pendapatku tentang makna silaturahmi. Aku tahu, ia sedikit kecewa dan bosan akan acara seperti ini. Kemudian, aku bertanya mengapa ia terlihat kecewa. Akan tetapi, sebelum menjawab, ia memberikan beberapa pertanyaan kepadaku.
“Menurutmu, apakah acara silaturahmi seperti ini membuat ikatan hati dan kebersamaan?” tanya Meina kepadaku.

Niatnya yang Terpenting

Kalau dihitung, kira kira 9 tahun lebih saya tinggal berjauhan dengan keluarga, keluarga tinggal di Jakarta sedangkan saya bekerja di daerah Bandung. Wah, kalau bukan urusan dapur sih amit-amit saya mau berjauhan dengan keluarga. Cuma satu motivasinya, yakni walaupun bekerja di tempat yang jauh dari keluarga, tetapi yang penting swasembada pangan lancar "Ree!". Artinya, kebutuhan pangan keluarga minimal tercukupi. Memang saya sudah pernah, mencoba mencari pekerjaan di Jakarta, bahkan sudah diterima bekerja. Akan tetapi, entah kenapa terasa tidak cocok di hati. Selain itu, berwirausaha juga pernah digeluti hingga berakhir punya hutang di mana-mana karena bermodal berhutang. Mungkin jalan hidup saya harus seperti ini dahulu, siapa tahu nanti happy ending-nya ada keajaiban hingga dapat berkumpul dengan keluarga lagi.

Friday, May 21, 2010

Aku Masih Beruntung





Ketika istirahat kantor, aku sengaja nongkrong di sebuah warung rokok di pinggiran jalan. Di sana, aku langsung memesan kopi dan sebungkus rokok. Meskipun aku tahu, perutku yang lapar ini tidak akan berhenti bernyanyi hanya dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok, tetapi permasalahan keluarga, pekerjaan, dan keinginan lain sanggup mengerem rasa laparku.
Sewaktu kuteguk kopi, tak sadar ternyata di sebelahku duduk seorang lelaki tua renta memandangiku yang sedang meneguk kopi. Bibirnya dikulum-kulum seolah-olah merasakan kopi yang kuteguk tadi. Mengetahui hal ini langsung saja aku memesan dan menawarkan segelas kopi dan sebatang rokok kepada kakek itu. Orang tua itu mengucapkan beberapa kali kata terima kasih dan mendoakan agar aku selalu sehat dan sukses. Kemudian, ia bangkit dari duduknya dan menuju sebuah kotak berkaca dan dilengkapi sebuah pikulan. Oh….ternyata orang tua ini penjual Bandros (istilah Bandung=kue pancong istilah Jakarta). Dia membawa empat potong kue bandros kepadaku sebagai ungkapan terima kasih. Saat itu aku berpikir untuk membelinya dan akhirnya aku membeli kue Badros itu. Saat itu, berlinanglah air mata lelaki renta itu. Ia lalu mengucapkan terima kasih dan menceritakan bahwa kue yang dijajakannya baru seorang pembelinya. Kemudian, ia pun mengatakan perjalanan untuk menjajakan kue ini dari rumahnya sekitar 2 kilometer. Sementara keuntungan dari hasil penjualannya jika habis terjual sekitar Rp 12 ribu rupiah. Selanjutnya, ia pun bercerita bahwa dua orang anaknya telah pergi mendahuluinya, kini tinggal ia dan istrinya. Jadi, hanya dialah salah satu tulang punggung untuk mencari nafkah.
Aku terenyuh mendengar kisahnya itu, seorang tua renta yang berjuang mencari keuntungan beberapa dari hasil menjual kue bandrosnya itu menafkahi keluarganya menempuh perjalanan 2 kilometer. Meskipun demikian, ia tetap tegar dan dijalaninya dengan sabar.
Hmmm….kisahnya ini sungguh menjadi kekuatan bagiku untuk menjalani hidup karena permasalahanku ternyata tidak sebanding dengan permasalahan hidup yang dialami kakek tua itu. Akan tetapi, hal mendasar yang perlu digarisbawahi adalah mencari uang Rp 12 ribu rupiah sangat berarti untuk kebutuhan hidup keluarganya harus diperjuangkan dengan menempuh jarak yang jauh, itupun jika kuenya habis terjual. Oh…ternyata aku masih sangat beruntung jika dibanding kan dengan kakek itu.