Thursday, September 30, 2010

Politik Kartel Melanda Perkampungan

Saya juga tidak ingat sudah berapa kepengurusan Pak Lurah di kampungku menjanjikan kepada masyarakat bahwa jalan Cihideung akan diperbaiki. Namun, saya selalu menggerutu jika membawa sepeda motor melewati jalan tersebut seperti hendak ke daerah pesawahan. Padahal, jalan tersebut merupakan jalan yng selalu dilalui oleh mobil-mobil pabrik yang berkapasitas muatannya berat. Saat kekesalan saya memuncak, timbul inisiatif saya untuk mengabadikan jalan itu dengan kamera Nikkon L22. Saya mengambil beberapa gambar untuk diajukan kepada pemerintahan tertinggi di Kota Tangerang. Namun sebelum melakukan upaya itu, saya secara tidak resmi (sambil ngopi) berbicara tentang hal itu kepada Pak RT yang ada di wilayah tersebut yang masih terhitung kerabat. Menurut sarannya (sebagai keluarga) agar sebaiknya saya tidak muncul sendiri melakukan itu karena akan membahayakan diri. Menurutnya lebih baik ada suatu organisasi atau LSM yang melakukan tuntutan tersebut.Saya pun menyanggupi hal itu.
Entah mengapa berita tentang foto yang kuabadikan dan hendak diajukan ke pemerintahan tertinggi itu sampai ke telinga Pak Lurah. “Apa mungkin istilah tembok pun dapat mendengar itu benar-benar nyata?” Tidak lama setelah berita itu ada, banyak sekali orang mengatakan bahwa Udi Sukrama yang melaporkan ke pemerintah tertinggi. “Wuihh….Edannn!!! Ternyata, di perkampungan saja sebuah informasi bisa cepat tersebar. Ini gila, mana mungkin saya bisa menembus Pemerintah Tangerang? Kenal orang-orangnya saja tidak?” saya bergumam. Akan tetapi, saat itu saya tidak kehilangan akal. “Kata orang kalo mau nyebur, nyebur sekalian, jangan setengah-setengah, kepalang tanggung.” Saya berpura-pura ke masyarakat di sana bahwa memang saya merupakan anggota salah satu LSM di kota tersebut.
Banyak sekali ekspresi masyarakat terhadap upaya saya itu, ada yang datang mendukung, ada pula yang berkata sinis. Awalnya, saya didukung oleh pengusaha setempat, yakni pengusah limbah, pengusaha batako dan bahan bangunan, dan pengusaha sandal putera daerah. Akan tetapi, tidak lebih dari seminggu, dukungan itu meredup bahkan ada pula dari pengusaha asal daerah berkata: “Di daerah sini tidak butuh orang pendidikan tinggi atau orang pinter, kalo cuma mengacaukan program pemerintah desa.” Alangkah terkejutnya saya mendengar kalimat itu dan geram, bukannya mereka awalnya mendukung saya? Untung saja saat itu masih bulan puasa, jadi emosi saya sedikit terkendali.
Setelah saya selidiki dan banyak bertanya kepada orang-orang yang mendukung saya, ternyata Pak Lurah beserta aparatnya melakukan negosiasi atau dalam bahasa politiknya sih disebut rundingan politik dengan para pengusaha daerah yang sebagian besar merupakan orang yang punya keterkaitan dengan partai-partai besar. Nah, ini yang disebut politik kartel atau perkawinan antara dua kepentingan. Perkawinan tersebut paling tidak saling menguatkan satu sama lainnya, si pemerintah diuntungkan dengan amannya masa pemerintahan dengan dukungan si pengusaha melalui partisipasi partai politiknya. Begitupula, si pengusaha memperoleh kekuasaan terhadap keamanan berusahanya. Padahal, jika dipikir-pikir pemerintah daerah setempat sebenarnya memiliki SOP (sistem operate procedure) dalam melaksanakan pemerintahannya, bukan kepentingan politik. Namun lagi-lagi yang berbicara keinginan akan kekuasaan, jadi kepentingan politiklah yang menjadi tuntutan.
Akhirnya, saya pun memperoleh dukungan dari LSM setempat dan beberapa pendukung, di antarnya tukang ojek, kami akhirnya diundang untuk bermusyawarah dengan pemerintah setempat setelah salat ashar. Di sana, saya bertemu pula dengan para pengusaha daerah yang awalnya mendukung saya. Saat itu, Pak Lurah pun mengatakan bahwa pemerintah akan berupaya mencari dana untuk memperbaiki dan membangun jalan tersebut dan meminta saya untuk. Kemudian, saya pun mengutarakan bahwa saya tidak pernah ataupun berkeinginan untuk melaporkan keadaan tersebut kepada pemerintah tingkat kota apalagi tingkat provinsi. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur, saya sudah dikecam orang-orang berkepentingan. Saya pun geram dan berkata bahwa “Saya dan Anda yang hadir hari ini merupakan pembayar pajak sejati. Membayarnya tentu tidak sedikit karena Anda merupakan pengusaha daerah yang memiliki keuntungan yang cukup besar, itupun jika Anda membayar pajak. Disadari atau tidak, kita memiliki kewajiban untuk membayar pajak agar pembangunan daerah terus berlanjut, jadi aneh rasanya sudah bertahun-tahun jawabannya hanya sedang mencari dana. Bahkan, tanpa harus bersusah payah menunggu APBD, saya kira pihak yang menggunakan jalan seperti industry besar yang ada di sini pun harus bertanggung jawab, jangan hanya menggunakan jalan semata. Saya pun merasa aneh, apa salah jika kita pembayar pajak menagih kepada pemerintahan setempat, mengembalikan dalam bentuk pembangunan daerah yang diinginkan, apalagi hanya perbaikan jalan 1,5 km. Jujur, saya tidak memiliki kepentingan apapun termasuk kepentingan partai tertentu, apalagi mengganggu aktivitas bapak-bapak.” Saat itu para hadirin terdiam dan ada juga yang manggut-manggut, entah mengerti ataupun kesal mendengar ucapan saya.
Dua hari setelah musyawarah, ternyata jalan tersebut sudah dalam proses perbaikan. Menurut tukang ojek dan beberapa orang yang hadir bahwa saya telah menang karena membuat pemerintah daerah ketakutan untuk menunda pembangunan jalan tersebut hingga habis lebaran. Saya tidak merasa menang, saya hanya tidak ingin mengingkari nurani saya dan kenyataan yang ada di depan mata saya.
Bravo untuk masyarakat yang sering kebanjiran dan jalan yang rusak!!!!

Bandung, 30 September 2010

2 comments:

Anonymous said...

okelah jack. Maju terus pantang mundur

Anonymous said...

alus