Thursday, September 30, 2010

Budaya Indonesia yang Dicontek Situs Jejaring Sosial



Sewaktu kecil, saya pernah tinggal di perkampungan di rumahya nenek. Saat itu, rasa kekeluargaan, empati, saling tolong menolong, dan persudaraan sangat erat. Dahulu, orang di desa saling mengenal satu sama lain. Contohnya, jika ada perkawinan atau ada yang tutup usia, semua warga turut hadir membantu apa yang bisa mereka bantu tanpa pamrih. Bahkan, jika ada warga baru, mereka selalu menyambut dengan ramah dan kekeluargaan. Jika dalam budaya Sunda, hal tersebut dicerminkan dalam pilosofi “Saling Asah, Saling Asuh, Saling Asih.

Di masa kecil dahulu, kehidupan bertetangga yang saling membutuhkan itu sangat kental sekali. Salah satu contohnya ketika saya datang dari Jakarta bersama Bapak dan Ibu, saat itu nenek belum masak, tetapi para tetangga dengan serta merta membawakan nasi bersama lauk pauk. Peristiwa tersebut berbeda dengan saat ini, di mana telah terjadi pergeseran perilaku masyarakat karena berbagai faktor, misalnya kebutuhan ekonomi yang maha dasyat sehingga memungkinkan orang berlomba untuk mengejar rezeki tanpa lelah. Mereka tidak ada waktu lagi untuk hidup bersosialisasi lagi dengan tetangga dekat, bahkan keluarganya sendiri.


Selain faktor ekonomi, peran media massa juga sangat mempengaruhi dalam membentuk perilaku individu. Peran media massa akan berdampak positif apabila penggunaannya secara optimal dan sesuai dengan norma dan perilaku sesuai agama dan budaya Indonesia. Akan tetapi, kenyataannya, media massa saat ini baik cetak dan elektronik terlanjur menyuguhkan film-film/sinetron yang menayangkan kehidupan serba “Wah!! Jauh dari kenyataan sehari-hari masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kalangan menengah ke bawah”, iklan-iklan yang mendorong untuk hidup serba ada, serta majalah ataupun berita infotainment selebritis yang hadir setia menemani ibu-ibu dan anak-anak di rumah dan cenderung melakukan sikap imitasi terhadap apa yang ditayangkan. Hal ini merupakan contoh kecil yang membuat pergeseran perilaku masyakat sehingga membentuk individual. Perilaku yang individual ini menurut Cohen (sosiolog) merupakan perilaku yang menyimpang. Menurutnya, perilaku yang menyimpang merupakan perbuatan anti-sosial yang dilakukan oleh seseorang.
Berbicara kehidupan individual saat ini, saya jadi teringat kisah seorang pemulung yang bernama Supriono (38th) yang tinggal di wilayah Jakarta terpaksa membawa mayat anaknya yang bernama Khaerunisa (3 th)lantaran tidak punya dana untuk menyewa mobil jenazah. Bapak itu hanyalah warga miskin, yang terpaksa membawa anaknya naik kereta api. Di perjalanan, ia banyak dipertontonkan orang, bahkan ia sempat ditahan di kantor polisi, walaupun akhirnya diantarkan hingga sampai ke kampung halamannya di daerah Bogor untuk mengubur anaknya. Melalui kisah ini, sangat jelas bahwa telah terjadi proses individual, di mana manusia sudah saling tidak peduli lagi dengan manusia lainnya, entah itu para pemimpin bangsa, para dewan yang terhormat, partai yang menjanjikan kesejahteraan rakyat, dan para tetangga yang hilang rasa empatinya karena perilaku individu tersebut. Saya bahkan sempat menangis membaca berita tersebut dan tidak percaya bahwa saya hidup di negeri Indonesia yang konon merupakan negeri yang kental dengan kekeluargaan dan saling membantu. “Di manakah budaya itu saat ini disemayamkan?”

Rasa gembira bercampur haru ketika melihat berita di televisi bahwa melalui “Facebook” ada inisiatif dukungan masyarakat mengumpulkan koin untuk “Bilqis” bayi yang menderita kelainan hati. Melalui situs tersebut ternyata sambutan masyarakat sangat tinggi meskipun dengan mengumpulkan koin recehan. Begitu pula dukungan terhadap kasus hukum orang yang dianggap tidak bersalah oleh masyarakat. Meskipun saya tahu bahwa melalui situs, orang tidak mengenal dekat terhadap orang yang membutuhkan dukungan dan bantuan, namun melalui situs tersebut setidaknya ada empati ataupun kepedulian dari masyarakat untuk saling berinteraksi dan saling membantu. Bagi saya situs jejaring sosial seperti Facebook sebenarnya menawarkan ruang dan sarana untuk saling peduli dan saling berinteraksi antarmanusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Di samping dampak buruk lainnya yang berkembang dari situs jejaring sosial seperti “Facebook”, disadari atau tidak, konsep dasar situs jejaring sosial tersebut sebenarnya mencontek budaya Indonesia, yakni rasa kekeluargaan, persaudaraan, empati dan saling peduli.

Bandung, 29 September 2010

No comments: