Tuesday, March 22, 2011

Obrolan di Warung Kopi tentang HAM

Oleh: Udi Sukrama
Sehabis salat Isya, seperti biasanya saya nongkrong di warung kopi yang tidak jauh dari masjid. Di sana, saya melihat sekitar 12 orang pengunjung (Alhamdulillah….), termasuk pengunjung lama, yakni Pak Usep, Pak Sunandar, dan Pak Budi atau sering disebut ustad Budi (lantara gaya bicaranya seperti ustad). Seperti biasanya, saya langsung bergabung dengan mereka. Saat itu kami membahas berbagai hal di dalam kehidupan, mulai dari harga cabai yang tidak turun-turun, Ahmadiyah, ributnya para wakil rakyat & pemerintah (politik), tsunami, bom buku, gatelnya Nato menyerang Libya, radiasi nuklir di Jepang, hingga menemukan topic yang menarik tentang masalah HAM. Kemudian, salah satu dari kami, yakni Pak Budi menyimpulkan bahwa inilah tanda-tanda akhir zaman.
“Kalau memang disebut tanda-tanda akhir zaman, berarti manusia musti sadar akan hal itu,” kata Pak Usep.

Tuesday, March 15, 2011

Oh.....Nasib Jadi Buruh Pabrik

Oleh: Udi Sukrama




Kalau dahulu, orang-orang malas menjadi pegawai negeri sipil (sekitar tahun 1970-an sampai tahun 1990 'kalau tidak salah'), mereka malah memilih menjadi pedagang, sopir angkot ataupun buruh pabrik ataupun karyawan di bank. Pasalnya, dahulu menjadi pegawai negeri sipil untuk mencukupi kebutuhan hidup saja agak tersendat (contohnya guru pada saat itu). Akan tetapi, kini banyak orang lebih memilih menjadi pegawai negeri sipil karena keterjaminan kebutuhan hidupnya sudah mulai membaik.

Friday, March 11, 2011

Kata Siapa Menulis Itu Sulit?

Oleh: Udi Sukrama
Kemarin, saya berbincang-bincang dengan seorang kawan yang memiliki ide cukup banyak dan pandai beretorika. Lalu, saya katakan kepadanya agar ide dan kemampuan ngocehnya itu dituangkan kedalam sebuah tulisan. Kontan saja ia merasa keberatan karena menurutnya orang menulis itu sulit dan untuk melakukannya diperlukan bakat khusus. Menurutnya lagi bahwa orang yang berani menulis itu bukan orang sembarangan. Saya hanya mengatakan bahwa saya juga suka meuliskan “unek-unek” saya di media Blog. Lalu,kawan saya pun nyengir. Kemudian, ia menceritakan kendalanya bahwa ia pun sebenarnya ia pun ingin menulis tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Sebenarnya menulis itu adalah hal yang mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Nah, yang dibutuhkan seseorang menulis adalah kemauan menulis. Jika tidak ada k kemauan untuk menulis, tentunya kita tidak mengetahui sejauhmana sudut pandang kita dalam memandang sesuatu.

Pengemis yang Dermawan

Oleh: Udi Sukrama

Sore itu, saya memasuki lokasi terminal Leuwi Panjang dengan tergesa-gesa. Sesampainya di muka terminal, banyak para penjaja oleh-oleh khas Bandung menawarkan jajaannya kepada saya, namun tidak saya hiraukan. Bahkan, saya tidak sengaja memperlihatkan wajah masam kepada mereka sambil menggeleng-gelengkan kepada bertanda "tidak". Saya langsung saja menuju sebuah tempat yang bertuliskan "TOILET atau WC UMUM". Nah, itulah alasan saya mengapa berjalan tergesa-gesa dan tidak menyadari telah bermuka masam kepada para penjaja, tidak lain merasakan perut mulas. Setelah memasuki sebuah ruangan yang sempit dan berbau pesing, saya jongkok sambil melepaskan amunisi yang tertahan sejak masih naik mobil angkutan kota. Akhirnya, plong juga rasanya setelah melepaskan amuni yang tertahan. Tiba-tiba, saya mendengar percakapan yang sepertinya dilakukan oleh dua orang di balik tembok toliet. Kebetulan WC yang saya masuki adalah WC yang terletak di pojok dan bersebelahan dengan tembok luar, jadi bisa terdengar orang-orang berbicara di balik tembok.

Thursday, March 10, 2011

Hikmah dari suatu Kejadian

Oleh: Udi Sukrama

The Power of Silaturahmi

Oleh: Udi Sukrama

Semalam, ketika jenuh untuk menyelesaikan rutinitas pekerjaan yang tak kunjung rampung, saya mencoba mencari-cari buku kenangan (mungkin orang-orang menyebutnya buku diary, tapi saya lebih suka menyebutnya buku kenangan). Buku kenangan itu, berisikan catatan kecil saya mulai menjadi siswa SMP hingga SMA, yang tersimpan di sudut pojok bawah lemari buku. Terkadang saya tertawa geli jika membaca catatan-catatan kecil itu, ternyata didominasi oleh tulisan tentang kisah asmara dan kisah heroik pribadi lainnya.

I Love Kebersamaan, meski Perut Membuncit

Oleh: Udi Sukrama

“I love kebersamaan, meski sampai perut buncit,“ ini sebuah guyonan di antara saya dengan seorang teman saat menjelang lulus dari SMP Negeri 21 di tahun 1990. Kami berdua kemudian berpisah karena berbeda SMA dan kota. Setelah kami bertemu di daerah Glodok, seketika kami saling mengenali dan tertawa dan berkata: “ I love kebersamaan, meski sampai perut buncit”. Saat itu, kami saling berbincang-bincang, termasuk membandingkan besar dan diameter perut. Padahal awalnya kami pun tidak ingin menbicarakan masalah perut buncit yang membuat setiap orang merasa tidak pede, tetapi realitanya kami mengalami dan berbagi tips agar tetap Pede ataupun kembali mengempis.

Semoga Tuhan Memberikan Kekuatan Kepada Kita

Oleh: Udi Sukrama

Saat merasa penat dengan berbagai masalah yang selalu berputar di kepala (terutama masalah ekonomi), saya mencoba menghibur diri dengan mendengarkan musik. di ruangan. Tiba-tiba, terdengar ketukan beberapa kali dari luar pintu kamar sehingga mengusik keasyikan saya. Ternyata, ibu yang selalu mencucikan pakaian saya. Ia datang dengan maksud meminjam uang untuk mengobati anaknya ke dokter. Saya merasa iba dan memberikan sejumlah uang kepadanya, namun tetap saja di dalam hati saya sedikit menggerutu karena persediaan uang mulai menipis.

Silaturahmi Tidak Mengenal Pepatah: “Karena Nila setitik, Rusak Susu Sebelanga”


oleh: Udi Sukrama

Kita sering mendengar pepatah yang menyatakan “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, artinya hanya karena kesalahan kecil yang nampak tiada artinya, tetapi dapat menjadi persoalan besar dan membuat kacau atau berantakan.

Thursday, March 3, 2011

Percakapan Dua Bocah di Pantai

Oleh: Udi Sukrama
Sore itu, suasana Pantai Kuta-Bali sangat menyenangkan dan ombaknya pun tidak terlalu besar. Banyak para wisatawan yang menikmati suasana itu. Ada yang hanya duduk-duduk menunggu matahari tenggelam, ada yang bermain air, snorkling, dan bermain pasir. Nah, khusus bermain pasir ini sangat disukai oleh para bocah berumur 2-6 tahun. Di tengah para bocah yang sedang bermain pasir ini terlihat dua orang anak yang asyik bermain pasir sambil berbincang-bincang. Ternyata, kedua bocah ini merupakan satu rombongan wisatawan dari Australia. Bahkan rumah mereka saling berdekatan, jadi wajar jika mereka begitu akrab. Mereka bernama Jesica dan Jhony. Mereka terlihat berbincang-bincang sangat serius.
"Jhon, kira-kira di laut ada buayanya ga ya?" tanya Jesica kepada Jhon.
"Kata ibuku sih buaya itu tidak ada di laut, tapi di muara, dan sungai," kata Jhon sambil membuat bangunan rumah dari pasir.
"Ooo..Begitu. Tapi kamu tidak tahu khan kalau di darat juga ada buaya?" kata Jesica kepada Jhon.
"Tahu dari mana kamu kalau di darat itu ada buaya, Jes?" Jhon merasa bingung.
"Aku sendiri pernah mendengar suatu malam, saat ibuku baru pulang kerja ia berteriak dengan keras menyebutkan nama 'Buaya Darat' di hadapan ayahku," kata Jesica.
"Oh, iya. Saat itu juga aku melihat ibumu tergesa-gesa keluar dari jendela kamar ayah dan ibuku," tambah Jesica.
"Oooo...Begitu pasti ibuku juga tahu. Ibuku khan seorang dr. ahli hewan.Yuk, kita tanyakan kepada Ibuku, Jes!" ajak Jhoni kepada Jesica.
Kedua bocah ini kemudian berjalan menuju tempat di mana kedua orang tua mereka bersantai di pinggir pantai. Kemudian, Jhon pun bertanya kepada ibunya.
"Apa benar di darat ada buaya?" kata Jhon kepada ibunya.
Ibunya Jhon pun tersenyum, lalu ia berkata," Kata siapa Jhon di darat ada buaya?"
"Kata Jesica Bu. Katanya, ia mendengar saat itu, Ibunya Jesica berteriak menyebutkan buaya darat di depan ayahnya. Katanya juga saat itu Ibu pasti mendengar karena ibu baru keluar lewat jendela," kata Jhon.
Seketika ibunya Jhon, terdiam dan wajahnya terlihat pucat.
"Ada-tidak buaya di darat, Bu?" tanya Jhon kepada ibunya degan penuh penasaran.
Ibunya pun tidak menjawabnya. Akan tetapi, ternyata ibunya Jesica yang menjawabnya dengan lantang, " Ada, Jhon."
Kemudian, Jesica pun menoleh ke arah Jhon," Tuh khan apa aku bilang, ada khan."
Jhon pun menganguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Kemudian, ia pun melontarkan pertanyaan kepada ibunya Jesica.
"Kira-kira, banyak mana antara buaya rawa, buaya sungai atau buaya darat, Tante?" tanya Jhon kepada ibunya Jesica.
"Banyak Buaya Darat, Jhon," kata Ibunya Jesica sambil menatap tajam kepada ayah Jesica dan ibunya Jhon.
"Oooo begitu....Hiiiyyyy ngeri sekali," kata kedua bocah itu. Kemudian, meraka kembali menuju bermain pasir dengan asyiknya. Mereka pun tidak peduli ada telah terjadi keributan setelah meninggalkan tempat di mana mereka bertanya tadi.

Bandung, saat ngantuk di siang hari.

Wednesday, March 2, 2011

Jangan Pernah Putus Asa Mencintai Republik

"Jangan pernah putus asa mencintai republik…" Paling tidak kalimat ungkapan dari Ibu Sri Mulyani itulah yang masih terngiang-ngiang di telinga saya untuk terus menuangkan apa yang saya mampu. Memang, sebenarnya saya rasakan kehidupan kini sangatlah berat. Pasalnya, di tengah menjulang tingginya kebutuhan pokok manusia Indonesia, masyarakat dipusingkan pula oleh berbagai masalah politik dalam negeri, yang tentunya berimbas kepada kehidupan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat sering terjadinya perseteruan antara partai politik di kursi Dewan Terhormat, yang ide awalnya mendaulat atau didaulat sebagai perwakilan rakyat. Anehnya, mereka yang menjadi perwakilan itu saling sibuk memikirkan kelanggengan dirinya dan partainya, bukan memikirkan tentang kehidupan masyarakat. Mereka saling ribut tentang pemberantasan korupsi, mafia pajak, PSSI, dan koalisi, lalu kapan memikirkan rakyatnya yang sedang kelaparan?
Akhir-akhir ini saya mulai pesimis akan keberadaan para pengurus bangsa yang konon sebagai pengayom, pelindung, dan mewakili rakyatnya saat terjadi permasalahan di tengah masyarakat yang hampir kurang gizi. Akhir-akhir ini juga saya mulai pesimis akan kelangsungan kehidupan saya di bumi Indonesia ini. Terkadang saya suka tertawa sendiri jika ada siaran ataupun acara di televisi yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan kekayaan alamnya, dalam kenyataannya masyarakat banyak yang miskin dan tidak dapat menikmati kekayaan negara ini. Atau mungkin saja perkataan negara Indonesia adalah sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam?! Tetapi, makna sebenarnya adalah Negara Indonesia itu kaya akan warganya yang miskin, kaya korupsi, kolusi, dan maraknya penjahat berdasi yang dapat memutar balik kebenaran....."Achhh," Lagi-lagi, saya teringat ucapan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik ini".