Oleh: Udi Sukrama
“I love kebersamaan, meski sampai perut buncit,“ ini sebuah guyonan di antara saya dengan seorang teman saat menjelang lulus dari SMP Negeri 21 di tahun 1990. Kami berdua kemudian berpisah karena berbeda SMA dan kota. Setelah kami bertemu di daerah Glodok, seketika kami saling mengenali dan tertawa dan berkata: “ I love kebersamaan, meski sampai perut buncit”. Saat itu, kami saling berbincang-bincang, termasuk membandingkan besar dan diameter perut. Padahal awalnya kami pun tidak ingin menbicarakan masalah perut buncit yang membuat setiap orang merasa tidak pede, tetapi realitanya kami mengalami dan berbagi tips agar tetap Pede ataupun kembali mengempis.
Dahulu, kami sering konotasikan perut buncit kepada para bos besar, koruptor, ataupun orang yang terkena gejala cacingan, sekarang orang se-kere kami pun mengalaminya. Itulah pembicaraan kami yang masih ingat dengan guyonan lama itu. Kami pun berjanji akan bertemu dengan teman-teman lainnya untuk saling menghilangkan rasa rindu, kangen, dan berbagi cerita ataupun guyonan, termasuk guyonan ini. Wah, alangkah senangnya kami dipertemukan Tuhan walaupun perut kami tidak seramping dahulu.
Terlepas dari perut buncit ataupun rasa tidak pede, pada dasarnya guyonan itu sebagai jembatan pengantar rasa kangen dan kecintaan kami pada teman-teman yang lama tidak bersua. Di dalam pikiran dan lubuk hati kami yang terdalam, kami sangat mencintai dan kangen akan kebersamaan yang saat ini sudah mulai berkurang karena ego kebendaan dan pengakuan jabatan. Kalau sudah begini, hilang sudah rasa kebersamaan dan silaturahmi ditelan keangkuhan. Semoga saja ini tidak terjadi pada diriku.
No comments:
Post a Comment